Seri Pervas

Pemberontakan Etis: IDI Menantang Dunia untuk Menyusun Ulang Hukum Kesehatan Global

Tahun 2071, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bukan hanya dikenal sebagai organisasi profesi medis — melainkan sebagai pemicu gerakan global. Bukan karena inovasi teknologi, melainkan karena pemberontakan etis yang mengguncang fondasi hukum kesehatan dunia.

Semua bermula dari satu pertanyaan yang menggema di Konferensi Kesehatan Global di Zurich:
“Siapa yang sebenarnya memiliki tubuh manusia di era data medis digital?”
Di tengah dominasi perusahaan teknologi kesehatan raksasa dan negara-negara besar yang memonopoli AI medis, IDI menyatakan bahwa hukum internasional telah tertinggal jauh dari realitas. Etika medis lama telah lumpuh dalam menghadapi tantangan baru: paten organ sintetis, manipulasi genetik demi pasar, diskriminasi berbasis data genomik, dan pengendalian akses terapi oleh kekuatan ekonomi.

IDI menolak diam. Dalam pidatonya, Ketua Umum IDI saat itu, dr. Alaya Rauf, menyatakan:

“Kita tidak bisa membiarkan kesehatan menjadi komoditas. Tubuh manusia bukan properti perusahaan. Kami menuntut hukum kesehatan global yang adil, setara, dan berbasis kemanusiaan universal.”

Gerakan ini kemudian dikenal sebagai Deklarasi Jakarta 2071 — sebuah manifesto yang menuntut:

• Hak atas integritas tubuh dan data medis pribadi sebagai hak asasi manusia universal.
• Pelarangan global terhadap paten genetik manusia.
• Keadilan akses terhadap terapi regeneratif dan teknologi penyembuhan mutakhir.
• Perlindungan terhadap komunitas rentan dari eksploitasi bio-digital.

Banyak negara maju mencoba menentang. Tapi dukungan dari puluhan negara berkembang, LSM kesehatan, dan komunitas ilmuwan independen justru menjadikan IDI sebagai simbol perlawanan moral di tengah industri kesehatan yang semakin kapitalistik.

Dekade berikutnya, PBB akhirnya membentuk Komisi Revisi Hukum Bioetik Internasional, dengan IDI sebagai salah satu pemimpin utama.
Dunia pun menyadari: di era penuh kecanggihan, keberanian untuk bersuara benar adalah teknologi tertinggi.

Dan sejarah akan mencatat, bahwa ketika banyak pihak bungkam demi kenyamanan, IDI memilih jalan sulit — demi martabat manusia.